Monday, April 23, 2007

wahdatul wujud

Kau diam pada sebuah diskursus. Mengangankan problematika. Bahwa "wujud" merupakan tema yang paling krusial. Kau tulis sebuah pledoi bersandar teori wujudiyyah Mulla Sadra. Di antara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujud. Sebab hakikatnya terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tak mungkin bisa didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu "objek". Butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Dalam konteks wujud, apakah ada objek yang lebih bisa dipahami ketimbang konsepsi wujud? Ya Zahir. Belenggu yang menggenggam batin. Ya Batin. Syahwat yang mengumbar wujud.
Konsepsi wujud sedemikian terangnya, sehingga ia persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak mungkin bisa dilihat manusia. Demikianlah wujud. Begitu jelasnya mafhum wujud, maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus dan diferensia, yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang wujud itu sendiri.
Mafhum wujud adalah sesuatu yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami. Mulla Hadi Sabzawari dalam Syarh Manzumahnya berkata: Its (wujud's) notion is one of the best-known things, But its deepest reality is in the extremity of hiddenness .
Historiskal wujud berdiri sejak Aristoteles. Ketika kau terpekur dengan magnum opus filsafat; As-Syifa karya Ibnu Sina, Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan Khowajeh Nasiruddin Thusi. Meski mereka masih sekedar menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari tema-tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya. Aktivitas ilmiah Sadra sekalipun, harus diakui bahwa wujud masih belum pernah terbuktikan sebagai fondasi dari apa yang disebut sebagai realitas. Ikhtilaf di kalangan para filosof masih berkisar di seputar masalah prinsipalita wujud dan mahiyah; mana lebih awal atau lebih prinsipiil, wujud atau mahiyah.
Sadra ubudiyah. Menggagas gagasan tanpa gagasan. Bahwa wujud bukan hanya "lebih" prinsip daripada mahiyah, tapi ia juga merupakan fondasi dari semua yang disebut realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri. Sejak itu, wujudiyyah atau "eksistensialisme" lahir sebagai mazhab filsafat dalam komunitas Muslim.
Eksistensialisme yang diatributkan kepada Sadra berbeda dengan mazhab eksistensialisme ala barat yang diwakili para filosof seperti Kierkegaard, Jean Paul Sartre, atau Heidegger. Eksistensialisme mereka tak lebih dari sekadar sebuah pendekatan untuk mempelajari manusia; bukan sebuah sistem filsafat. Ia merupakan sebuah reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan di zamannya, yakni materialisme dan idealisme yang gagal memahami eksistensi manusia secara apa adanya. Sementara eksistensialisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya. Theistik. Bahkan sufistik.
Wujudiyyah Sadra; baik secara kosmologi, epistimologi, bahkan teologi, terbagi menjadi tiga kutub. Wahdatul Wujud, Tasykikul Wujud, dan Asalatul Wujud. Secara historis, teori wahdatul wujud pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang filosofis. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab'in yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang eksis sementara selain Tuhan tak ada yang eksis.
Ada lagi yang melihat bahwa seluruh yang maujud selain Tuhan hanyalah tajalliyat (manifestasi) dari Asma' dan Sifat-sifat Tuhan. Namun Sadra melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang namanya Wajib al-wujud yang sifat wujudnya adalah Necessary, ke maujud-maujud lain yang bersifat contingent Mumkin al-wujud. Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri.
Wahdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dan sebagainya. Apakah wujud setiap satu dari mereka sifatnya berdiri sendiri/self-subsistence atau justru subsist by other?
Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa membayangkan bahwa wujud itu satu, sementara di dunia realitas kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Bukankah keberadaan entitas si Ahmad berbeda dengan keberadaan entitas si Amir. Apalagi dibandingkan dengan entitas hewan, nabati, dan sebagainya. Lantas di mana letak unitasnya?
Untuk menjawab persoalan itu yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitas, wujudiyyah menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab (The Composite Existence). Di mana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini maka wujudnya pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit (The Simple Existent), di mana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah terbatas. Wujud ini hanya milik Alloh di mana wujudnya merupakan maujudNya itu sendiri. Simplifikasi jenis wujud Alloh ini kemudian melahirkan sebuah formula yang cukup signifikan dalam filsafat Sadra, yang disebutnya dengan istilah basitul haqiqah kullu syaiy. Bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut "sesuatu". Karenanya mengikut formula ini, wujud manusia yang murakkab adalah bagian inheren dari wujud Alloh yang basit.
Prinsip wahdatul wujud dalam filsafat Sadra ini yang melihat unitas wujud terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai dari wajibul wujud sampai ke mumkinul wujud yang beraneka ragam dan bervariasi, akhirnya melahirkan prinsip lain yang dikenal dengan istilah tasykikul wujud atau graditas wujud yang sistematis.
Untuk bisa memahami teori ini, sejenak kita melihat logika Aristotelian tentang perbedaan antara dua jenis universal (kulli), antara kulli mutawati (univocally applicable) dan kulli musyakkak (equivocally atau ambiguosly applicable). Contoh pertama seperti manusia (universal) yang membawahi si Ahmad, Ali dan sebagainya, yang di antara individu-individu tersebut tak ada perbedaan dari sisi kemanusiaannya. Contoh kulli kedua yakni kulli musyakkak seperti warna "putih" yang membawahi individu-individu "putih" yang ragamnya bergraditas; ada putih saju, putih kapas, dan sejenisnya.
Problemnya adalah kulli musyakkak yang membawahi suatu esensi dengan segala graditasnya ini apakah akan mengalami perubahan wujud ketika intensifikasi terjadi di dalam dirinya atau tidak? Dengan kalimat yang lebih sederhana, apakah ketika warna putih tertentu mengalami intensitas keputihannya, maka esensi "putih" nya juga berubah atau tidak berubah? Apakah perbedaan graditas dalam satu esensi akan menyebabkan esensi tersebut juga berubah atau tetap dengan esensinya dahulu.
Menurut aliran filsafat peripatetik, esensi tak mengalami perubahan. Yang berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan lahir warna baru yang menggantikannya. Tetapi Isyriqiyyun menolak. Mereka melihat bahwa suatu esensi tidak pernah mengalami perubahan. Suatu esensi bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak terbatas. Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya ke-putih-annya yang tetap, bahkan "putih"nya juga tetap.
Semua yang disebut esensi memiliki kapabilitas untuk menjadi "more or less": semua manusia bisa jadi "lebih" atau "kurang" manusia dari manusia lain. "Manusia" dan "kemanusiaan" Muhammad lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan kita. Teori "more perfect and less perfect". Suhrawardi ini kemudian diswitch oleh Sadra untuk dasar filsafat eksistensinya. Tapi jelas Sadra tidak sekadar mengkopi. Ia melakukan sejumlah modifikasi yang cukup signifikan. Pertama, prinsip ambiguitas ini dirubahnya dari ambiguitas esensi menjadi ambiguitas dalam eksistensi. Dengan kata lain, yang mengalami graditas bukan esensi, tapi justru eksistensinya. Kedua, teori ambiguitas eksisten ini juga terjadi secara sistematis bukan sekadar ambiguitas. Itu berarti, eksistensi adalah sama bagi seluruh eksisten (maujud)nya, seperti eksistensi Tuhan yang wajib dan makhluk yang mungkin adalah sama apabila dilihat dari sisi predikat eksistensinya. Meskipun predikat eksistensi di atas sama namun setiap eksisten tetap memiliki keunikannya tersendiri yang memisahkannya dari yang lain. Dengan dasar prinsip di atas, maka wahdatul wujud atau unitas wujud terpelihara pada semua eksisten atau maujud; namun dalam masa yang sama keragamannya juga terpelihara.
Ketika dua prinsip di atas tak terbantahkan secara common sense,
maka lahirnya prinsip ashalatul wujud adalah sesuatu yang aksiomatis. Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalatul mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal.
Perbedaan kedua prinsip ini secara historis telah lahir jauh sebelum munculnya Sadra, seperti yang dapat kita simak dari teori-teori Farabi, Ibnu Sina, bahkan Aristoteles sekalipun. Pada mulanya, para filosof peripatetik seperti Farabi dan Ibnu Sina yang mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu yang kemudian disebut sebagai maujud. Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud adalah gabungan antara wujud dan mahiyah. Mahiyah sepertinya duduk dalam posisi sebagai lokus yang memerlukan wujud agar ia bisa eksis. Tanpa wujud, suatu mahiyah tidak akan pernah bisa menjadi maujud; dan demikian juga tanpa mahiyah, suatu wujud tidak akan bisa memperoleh partikularisasinya di dunia realitas.
Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat sebagai maujud di dunia realitas adalah wujud itu sendiri, bukan asalnya mahiyah dari wujud, dan kemudian ia memperoleh wujud untuk bisa eksis. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinite.
Secara teologis, ketiga prinsip filsafat wujud di atas mengajak kita memahami makna the Ultimate Reality. Di mana realitas Alloh selain Simple, juga wahid atau menyatu dalam maknanya yang sangat unik. Meskipun wahdatul wujud namun tidak terjebak pada teori pantheisme, karena wujud entitas-entitas selainNya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan firman Alloh "bahwa Kami lebih dekat kepadanya (makhluk-Nya) ketimbang dari nyawanya sendiri" (50:16).

3 comments:

Anonymous said...

Prinsip ashalatul wujud adalah sesuatu yang aksiomatis????????!!!!!!!!
Suatu kesimpulan yang tergesa-gesa dan amat naif.
Terima Kasih

Anonymous said...

halo mas, Gieb. kunjungan perdana nih :) mau tanya alamat blognya goodreads indonesia. makasih ya mas

Anonymous said...

wahhh seneng ketemu teman d goodreads