Monday, April 23, 2007

jazz mi'raj

Setelah jazz merebutmu. Tak pernah terbayangkan bila semua harus berakhir pada sebuah nada. Bunyi yang sunyi. Dari suara yang kalah. Mungkin kau harus diam. Sebab diam adalah bahasa ketabahan. Sebagian mereka mengatakan. Belajarlah diam sebagaimana kau belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam rnenguatkanmu. Menjaga lisan adalah lewat diamnya. Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kau ikat akan menyerangmu. Cabik.

Aku mengekang lidahku selama tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapanku kecuali dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tigapuluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali dari ucapanku. Jika lidah kau didiamkan, maka belum tentu kau telah diselamatkan dari kata-kata hati. Jika kau telah menjadi batang tubuh yang kering kerontang. Kau masih belum terbebas dari kata kata hawa nafsu. Semu.

Lidah seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya. Aku merebutMu pada saat itu. Tabik.

Percintaanku yang keenam;
"Aku melihat Tuhan dalam mimpi, lalu aku bertanya, “Bagaimana aku musti menjumpai Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan dirimu dan kemarilah!” Satu dari sekian kerusakan adalah berakrab akrab dengan orang banyak. Barangsiapa bergaul dengan orang banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa menyenangkan hati mereka berarti telah bertindak munafik. Mari. Menyepi. Dalam riuh keramaian. Aku harus.

Malam semakin menghitam. Hampir mendekati warna kematian. Sepi yang menghunjam. Tetapi aku harus menhampiri rumahmu yang lusuh itu. Pertemuan di malam ini akan menghasilkan sebuah bocah kecil bernama Linuwih Genitri. Benda yang menyusun sejarah. Silsilah dari ode yang wajar.

“Awas! Waspadalah dengan kesibukan dunia manakala dunia mendekatimu. Hati-hati! Dengan penyesalannya manakala dunia pergi darimu. Orang yang cerdas sama sekali tidak tergantung pada sesuatu (dunia) -- yang apabila dunia datang ia lalu sibuk dengannya dan apabila pergi ia menyesal. (Tidak). Lalu ada yang berkata padanya, "Mereka telah memburu dan mereka telah terampas."

Gembira, akhirnya. Kemudian berserak gumam doa, “Oh Tuhan, dunia ini hina, hinalah orang yang berkubang di dalamnya, kecuali mengingatMu. Sedangkan akhirat itu mulia, dan mulia pula orang yang ada di dalamnya. Engkaulah yang menghinakan kehinaan dan memuliakan kemuliaan. Lalu mana bisa mulia orang yang memburu selain DiriMu? Bagaimana bisa zuhud orang yang memilih dunia bersamaMu? Maka benarkanlah secara hakiki diriku dengan hakikat zuhud sehingga aku tidak membutuhkan lagi mencari selain Diri-Mu, dan kokohkan dengan hakikat ma'rifat sehingga aku tidak butuh mencari-Mu lagi.” Aku onani lagi. PadaMu.

Tak ada masalah besar bagiku, kecuali dua hal ini; cinta dunia secara berlebihan dan rela menduduki kebodohan.

Mengeja ma’rifat. Dunia adalah pagar besi pertama yang harus diruntuhkan. Ma'rifat adalah nuansa yang memutus diriku dengan selain Dia, dan mendorongku untuk hanya kepada Dia. Cukup dengan Dia dari segala makhluk yang ada. Sebuah analogi dari sebuah firman; "Wa tsiyabaka fa-thahhir!" (maka sucikanlah pakaianmu). Aku tak mengerti.

“Dia telah mengenakan pakaian padamu dengan riasan ma'rifat, lalu riasan mahabbah, iman, dan tauhid. Siapa pun yang mengenal Dia, segala sesuatu menjadi teramat kecil. Siapa pun yang mencintai Dia, segala sesuatu menjadi hina. Siapa yang mentauhidkan Dia, tak satu pun yang membuat dirinya menyekutukanNya. Dan siapa yang beriman kepada Dia, ia aman dari segala sesuatu, serta siapa yang pasrah kepada Dia, ia akan sangat kecil berbuat dosa kepadaNya. Kalau toh ia berbuat dosa, ia segera mohon maaf kepadaNya, dan jika ia mohon maaf diterimalah maafnya itu.”

Lubang hitam itu semakin menganga. Lengkap dengan gemerlap riasan suka. Aku tak pernah bisa melupakanmu diantara wajahNya. Syahwat ini demikian lapang. Jernih dan jujur.

Percintaanku yang ketujuh.
Aku tak akan meninggalkanmu dengan tubuh yang mendua. Siapakah Dia yang menghantuiku untuk melupakan kemaluanmu?

Percintaan yang kedelapan;
Sesungguhnya bila Dia menghendaki sesuatu, hanya dengan perintah “Jadilah!” maka jadilah kamu. Meski dengan sederhana. Seperti diksi yang langka. Dan aku sia-sia saja memahaminya.

Seperti kabut. DzatNya begitu menggelayut dalam keakuan. Menembus sisi ubudiyah. Mahabbah yang menelan lawwamah. Berkejaran dengan bayangan dunia. Simpul jahiliyah yang menyematkan dengki hati. Menjelma kamu dengan bibir yang merekah. Hakikat yang menggoda. Mengganyang syariat ketekunan. Kesendirian yang cabul. Aku terpekur pada seorang mursyid.

“Menyendiri dari pengaruh duniawi –khalwat- adalah sifat orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri –uzlah- adalah lambang orang yang berwushul kepadaNya. Memisahkan diri dari manusia sangat diperlukan bagi murid pada awal kondisi ruhaninya, dan selanjutnya mengasingkan diri pada akhir kondisi ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita ruhaninya.”

Seseorang lewat di hadapan syaikh yang saleh. Sementara syaikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan dengan pakaian orang tersebut. Orang tersebut bertanya, "Mengapa Anda menarik jubah Anda? Pakaian saya tidak kotor." Sang syaikh menjawab, "Dugaan Anda salah. Saya menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah saya kotor; kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian Anda. Jadi bukan karena saya bermaksud menjaga jubah saya supaya tidak terkotori."

Sesungguhnya, uzlah adalah menjauhi sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya menjauhkan diri lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa lahir pertanyaan, "Siapakah orang arif itu?" Mereka menjawab, "Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama makhluk, jelas namun jauh dari mereka lewat rahasianya."

Membatas dalam pandangan zahir. Aku bertemu kamu Yos. Perempuan mungil dengan alif yang berserak. Mengalir tak henti dalam syahwatku yang menggunung. Tak ada yang berubah dari hujan yang berpagutan. Seperti keinginanku untuk menciummu sekali saja. Dan tak pernah terlepas. Mengulum rububiyah. Mengantar mukasyafahku. Hanya untuk Dia. Melalui kamu.

Aku terbebani dengan identitasku sebagai laki-laki yang esensi. Semakin menutup hijab hijau yang menggerakkan biologis. Man arofa nafsah. Bahkan tak tahu di mana barat. Tempat tujuan yang telah dipagutkan. Siapa Tuhan? Kalau bukan Aku. MencintaiMu harus menjelma Aku. Ya Mutakabbir. Menghanguskan segala aku yang kecil. Mikro kosmos yang berputar-putar. Tepat di jidat. Ya Latif. Mengharukan semua kesombongan. Sekali lagi aku terantuk. padaMu. Selalu. Tarian mabukku untukMu. Hu Alloh. Alloh. Alloh. Alloh. Alloh. Alloh.
Berputar-putar. Seperti Muhammad menari. Melagukan rahasia. Menata semesta.

Ya Wasi’u. Semoga lapang semua resah. Bertahan setia dengan malam. Menggambar alam raya. Dari nol derajat hingga sekian. “Kamu bukan Tuhanku?” Karena engkau hanya ikhlas menggelar dunia. Mencari sesuap pangkat. Ikhtiar pada keringat padahal bohong besar. Ibadahmu tak akan pernah diterima selama kehilangan cinta. Mahabbah. Mabuk Alloh.

No comments: