Monday, April 23, 2007

wahdatul wujud

Kau diam pada sebuah diskursus. Mengangankan problematika. Bahwa "wujud" merupakan tema yang paling krusial. Kau tulis sebuah pledoi bersandar teori wujudiyyah Mulla Sadra. Di antara tema-tema metafisika yang paling banyak melahirkan kontroversi filosofis adalah problema wujud. Sebab hakikatnya terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan sesuatu yang tak mungkin bisa didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan suatu "objek". Butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Dalam konteks wujud, apakah ada objek yang lebih bisa dipahami ketimbang konsepsi wujud? Ya Zahir. Belenggu yang menggenggam batin. Ya Batin. Syahwat yang mengumbar wujud.
Konsepsi wujud sedemikian terangnya, sehingga ia persis menyerupai matahari. Dan karena sedemikian terangnya, ia tak mungkin bisa dilihat manusia. Demikianlah wujud. Begitu jelasnya mafhum wujud, maka ia tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus dan diferensia, yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang wujud itu sendiri.
Mafhum wujud adalah sesuatu yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami. Mulla Hadi Sabzawari dalam Syarh Manzumahnya berkata: Its (wujud's) notion is one of the best-known things, But its deepest reality is in the extremity of hiddenness .
Historiskal wujud berdiri sejak Aristoteles. Ketika kau terpekur dengan magnum opus filsafat; As-Syifa karya Ibnu Sina, Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan Khowajeh Nasiruddin Thusi. Meski mereka masih sekedar menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari tema-tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya. Aktivitas ilmiah Sadra sekalipun, harus diakui bahwa wujud masih belum pernah terbuktikan sebagai fondasi dari apa yang disebut sebagai realitas. Ikhtilaf di kalangan para filosof masih berkisar di seputar masalah prinsipalita wujud dan mahiyah; mana lebih awal atau lebih prinsipiil, wujud atau mahiyah.
Sadra ubudiyah. Menggagas gagasan tanpa gagasan. Bahwa wujud bukan hanya "lebih" prinsip daripada mahiyah, tapi ia juga merupakan fondasi dari semua yang disebut realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri. Sejak itu, wujudiyyah atau "eksistensialisme" lahir sebagai mazhab filsafat dalam komunitas Muslim.
Eksistensialisme yang diatributkan kepada Sadra berbeda dengan mazhab eksistensialisme ala barat yang diwakili para filosof seperti Kierkegaard, Jean Paul Sartre, atau Heidegger. Eksistensialisme mereka tak lebih dari sekadar sebuah pendekatan untuk mempelajari manusia; bukan sebuah sistem filsafat. Ia merupakan sebuah reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan di zamannya, yakni materialisme dan idealisme yang gagal memahami eksistensi manusia secara apa adanya. Sementara eksistensialisme Islam adalah sebuah mazhab filsafat metafisis yang murni. Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya. Theistik. Bahkan sufistik.
Wujudiyyah Sadra; baik secara kosmologi, epistimologi, bahkan teologi, terbagi menjadi tiga kutub. Wahdatul Wujud, Tasykikul Wujud, dan Asalatul Wujud. Secara historis, teori wahdatul wujud pada mulanya adalah teori yang disusun Ibnu Arabi. Ia lebih bernuansa sufistik ketimbang filosofis. Banyak penafsiran telah diberikan tentang teori ini, dari yang sangat ekstrem sampai moderat. Mungkin yang paling ekstrem adalah Ibnu Sab'in yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang eksis sementara selain Tuhan tak ada yang eksis.
Ada lagi yang melihat bahwa seluruh yang maujud selain Tuhan hanyalah tajalliyat (manifestasi) dari Asma' dan Sifat-sifat Tuhan. Namun Sadra melihat bahwa realitas wujud meskipun satu, namun ia memiliki intensitas yang membentang dari yang namanya Wajib al-wujud yang sifat wujudnya adalah Necessary, ke maujud-maujud lain yang bersifat contingent Mumkin al-wujud. Ia persis seperti matahari dan sinarnya. Matahari tentu berbeda dengan sinarnya. Namun dalam masa yang sama, sinar matahari tiada lain adalah matahari itu sendiri.
Wahdatul wujud menekankan pada unitas wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut sebagai maujud. Tuhan berwujud, manusia berwujud, benda-benda mati berwujud, dan sebagainya. Apakah wujud setiap satu dari mereka sifatnya berdiri sendiri/self-subsistence atau justru subsist by other?
Lalu kalau pilihannya adalah yang kedua, apa beda antara wujud Tuhan dengan wujud selainnya? Lalu bagaimana mungkin kita bisa membayangkan bahwa wujud itu satu, sementara di dunia realitas kita menemukan entitas-entitas yang sepertinya berdiri sendiri. Bukankah keberadaan entitas si Ahmad berbeda dengan keberadaan entitas si Amir. Apalagi dibandingkan dengan entitas hewan, nabati, dan sebagainya. Lantas di mana letak unitasnya?
Untuk menjawab persoalan itu yang dikenal dengan istilah problem multiplisitas dengan unitas, wujudiyyah menerangkan tentang dua perkara yang cukup fundamental. Pertama, ada yang disebut dengan istilah maujud murakkab (The Composite Existence). Di mana keberadaan entitas tersebut bergantung pada unsur-unsur pokoknya. Segala sesuatu yang termasuk dalam kategori ini maka wujudnya pasti akan terbatas. Kedua, maujud basit (The Simple Existent), di mana jenis wujudnya tak pernah bergantung pada unsur-unsur. Karenanya ia tidak pernah terbatas. Wujud ini hanya milik Alloh di mana wujudnya merupakan maujudNya itu sendiri. Simplifikasi jenis wujud Alloh ini kemudian melahirkan sebuah formula yang cukup signifikan dalam filsafat Sadra, yang disebutnya dengan istilah basitul haqiqah kullu syaiy. Bahwa wujud yang bersifat sederhana adalah wujud yang mencakup seluruh entitas yang disebut "sesuatu". Karenanya mengikut formula ini, wujud manusia yang murakkab adalah bagian inheren dari wujud Alloh yang basit.
Prinsip wahdatul wujud dalam filsafat Sadra ini yang melihat unitas wujud terbentang lebar pada segala apa yang disebut sebagai "sesuatu", mulai dari wajibul wujud sampai ke mumkinul wujud yang beraneka ragam dan bervariasi, akhirnya melahirkan prinsip lain yang dikenal dengan istilah tasykikul wujud atau graditas wujud yang sistematis.
Untuk bisa memahami teori ini, sejenak kita melihat logika Aristotelian tentang perbedaan antara dua jenis universal (kulli), antara kulli mutawati (univocally applicable) dan kulli musyakkak (equivocally atau ambiguosly applicable). Contoh pertama seperti manusia (universal) yang membawahi si Ahmad, Ali dan sebagainya, yang di antara individu-individu tersebut tak ada perbedaan dari sisi kemanusiaannya. Contoh kulli kedua yakni kulli musyakkak seperti warna "putih" yang membawahi individu-individu "putih" yang ragamnya bergraditas; ada putih saju, putih kapas, dan sejenisnya.
Problemnya adalah kulli musyakkak yang membawahi suatu esensi dengan segala graditasnya ini apakah akan mengalami perubahan wujud ketika intensifikasi terjadi di dalam dirinya atau tidak? Dengan kalimat yang lebih sederhana, apakah ketika warna putih tertentu mengalami intensitas keputihannya, maka esensi "putih" nya juga berubah atau tidak berubah? Apakah perbedaan graditas dalam satu esensi akan menyebabkan esensi tersebut juga berubah atau tetap dengan esensinya dahulu.
Menurut aliran filsafat peripatetik, esensi tak mengalami perubahan. Yang berubah adalah instansi-instansi partikularnya. Ketika warna putih mengalami intensifikasi warna, itu berarti bahwa warna dahulu hilang dan lahir warna baru yang menggantikannya. Tetapi Isyriqiyyun menolak. Mereka melihat bahwa suatu esensi tidak pernah mengalami perubahan. Suatu esensi bisa saja memiliki wilayah intensitas yang tak terbatas. Ketika warna putih mengalami intensifikasi, bukan hanya ke-putih-annya yang tetap, bahkan "putih"nya juga tetap.
Semua yang disebut esensi memiliki kapabilitas untuk menjadi "more or less": semua manusia bisa jadi "lebih" atau "kurang" manusia dari manusia lain. "Manusia" dan "kemanusiaan" Muhammad lebih sempurna dari manusia dan kemanusiaan kita. Teori "more perfect and less perfect". Suhrawardi ini kemudian diswitch oleh Sadra untuk dasar filsafat eksistensinya. Tapi jelas Sadra tidak sekadar mengkopi. Ia melakukan sejumlah modifikasi yang cukup signifikan. Pertama, prinsip ambiguitas ini dirubahnya dari ambiguitas esensi menjadi ambiguitas dalam eksistensi. Dengan kata lain, yang mengalami graditas bukan esensi, tapi justru eksistensinya. Kedua, teori ambiguitas eksisten ini juga terjadi secara sistematis bukan sekadar ambiguitas. Itu berarti, eksistensi adalah sama bagi seluruh eksisten (maujud)nya, seperti eksistensi Tuhan yang wajib dan makhluk yang mungkin adalah sama apabila dilihat dari sisi predikat eksistensinya. Meskipun predikat eksistensi di atas sama namun setiap eksisten tetap memiliki keunikannya tersendiri yang memisahkannya dari yang lain. Dengan dasar prinsip di atas, maka wahdatul wujud atau unitas wujud terpelihara pada semua eksisten atau maujud; namun dalam masa yang sama keragamannya juga terpelihara.
Ketika dua prinsip di atas tak terbantahkan secara common sense,
maka lahirnya prinsip ashalatul wujud adalah sesuatu yang aksiomatis. Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalatul mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal.
Perbedaan kedua prinsip ini secara historis telah lahir jauh sebelum munculnya Sadra, seperti yang dapat kita simak dari teori-teori Farabi, Ibnu Sina, bahkan Aristoteles sekalipun. Pada mulanya, para filosof peripatetik seperti Farabi dan Ibnu Sina yang mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu yang kemudian disebut sebagai maujud. Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud adalah gabungan antara wujud dan mahiyah. Mahiyah sepertinya duduk dalam posisi sebagai lokus yang memerlukan wujud agar ia bisa eksis. Tanpa wujud, suatu mahiyah tidak akan pernah bisa menjadi maujud; dan demikian juga tanpa mahiyah, suatu wujud tidak akan bisa memperoleh partikularisasinya di dunia realitas.
Menurut Suhrawardi, apa yang kita lihat sebagai maujud di dunia realitas adalah wujud itu sendiri, bukan asalnya mahiyah dari wujud, dan kemudian ia memperoleh wujud untuk bisa eksis. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinite.
Secara teologis, ketiga prinsip filsafat wujud di atas mengajak kita memahami makna the Ultimate Reality. Di mana realitas Alloh selain Simple, juga wahid atau menyatu dalam maknanya yang sangat unik. Meskipun wahdatul wujud namun tidak terjebak pada teori pantheisme, karena wujud entitas-entitas selainNya juga tetap terpelihara. Itulah yang dimaksudkan firman Alloh "bahwa Kami lebih dekat kepadanya (makhluk-Nya) ketimbang dari nyawanya sendiri" (50:16).

jazz mi'raj

Setelah jazz merebutmu. Tak pernah terbayangkan bila semua harus berakhir pada sebuah nada. Bunyi yang sunyi. Dari suara yang kalah. Mungkin kau harus diam. Sebab diam adalah bahasa ketabahan. Sebagian mereka mengatakan. Belajarlah diam sebagaimana kau belajar berbicara. Jika bicara menjadi pembimbingmu, maka diam rnenguatkanmu. Menjaga lisan adalah lewat diamnya. Lisan ibarat binatang buas, jika tidak kau ikat akan menyerangmu. Cabik.

Aku mengekang lidahku selama tigapuluh tahun, sehingga aku tidak mendengar ucapanku kecuali dari kalbuku. Kemudian aku mengekang kalbuku tigapuluh tahun, sehingga tidak mendengar kalbuku kecuali dari ucapanku. Jika lidah kau didiamkan, maka belum tentu kau telah diselamatkan dari kata-kata hati. Jika kau telah menjadi batang tubuh yang kering kerontang. Kau masih belum terbebas dari kata kata hawa nafsu. Semu.

Lidah seorang tolol adalah kunci menuju kematiannya. Aku merebutMu pada saat itu. Tabik.

Percintaanku yang keenam;
"Aku melihat Tuhan dalam mimpi, lalu aku bertanya, “Bagaimana aku musti menjumpai Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan dirimu dan kemarilah!” Satu dari sekian kerusakan adalah berakrab akrab dengan orang banyak. Barangsiapa bergaul dengan orang banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa menyenangkan hati mereka berarti telah bertindak munafik. Mari. Menyepi. Dalam riuh keramaian. Aku harus.

Malam semakin menghitam. Hampir mendekati warna kematian. Sepi yang menghunjam. Tetapi aku harus menhampiri rumahmu yang lusuh itu. Pertemuan di malam ini akan menghasilkan sebuah bocah kecil bernama Linuwih Genitri. Benda yang menyusun sejarah. Silsilah dari ode yang wajar.

“Awas! Waspadalah dengan kesibukan dunia manakala dunia mendekatimu. Hati-hati! Dengan penyesalannya manakala dunia pergi darimu. Orang yang cerdas sama sekali tidak tergantung pada sesuatu (dunia) -- yang apabila dunia datang ia lalu sibuk dengannya dan apabila pergi ia menyesal. (Tidak). Lalu ada yang berkata padanya, "Mereka telah memburu dan mereka telah terampas."

Gembira, akhirnya. Kemudian berserak gumam doa, “Oh Tuhan, dunia ini hina, hinalah orang yang berkubang di dalamnya, kecuali mengingatMu. Sedangkan akhirat itu mulia, dan mulia pula orang yang ada di dalamnya. Engkaulah yang menghinakan kehinaan dan memuliakan kemuliaan. Lalu mana bisa mulia orang yang memburu selain DiriMu? Bagaimana bisa zuhud orang yang memilih dunia bersamaMu? Maka benarkanlah secara hakiki diriku dengan hakikat zuhud sehingga aku tidak membutuhkan lagi mencari selain Diri-Mu, dan kokohkan dengan hakikat ma'rifat sehingga aku tidak butuh mencari-Mu lagi.” Aku onani lagi. PadaMu.

Tak ada masalah besar bagiku, kecuali dua hal ini; cinta dunia secara berlebihan dan rela menduduki kebodohan.

Mengeja ma’rifat. Dunia adalah pagar besi pertama yang harus diruntuhkan. Ma'rifat adalah nuansa yang memutus diriku dengan selain Dia, dan mendorongku untuk hanya kepada Dia. Cukup dengan Dia dari segala makhluk yang ada. Sebuah analogi dari sebuah firman; "Wa tsiyabaka fa-thahhir!" (maka sucikanlah pakaianmu). Aku tak mengerti.

“Dia telah mengenakan pakaian padamu dengan riasan ma'rifat, lalu riasan mahabbah, iman, dan tauhid. Siapa pun yang mengenal Dia, segala sesuatu menjadi teramat kecil. Siapa pun yang mencintai Dia, segala sesuatu menjadi hina. Siapa yang mentauhidkan Dia, tak satu pun yang membuat dirinya menyekutukanNya. Dan siapa yang beriman kepada Dia, ia aman dari segala sesuatu, serta siapa yang pasrah kepada Dia, ia akan sangat kecil berbuat dosa kepadaNya. Kalau toh ia berbuat dosa, ia segera mohon maaf kepadaNya, dan jika ia mohon maaf diterimalah maafnya itu.”

Lubang hitam itu semakin menganga. Lengkap dengan gemerlap riasan suka. Aku tak pernah bisa melupakanmu diantara wajahNya. Syahwat ini demikian lapang. Jernih dan jujur.

Percintaanku yang ketujuh.
Aku tak akan meninggalkanmu dengan tubuh yang mendua. Siapakah Dia yang menghantuiku untuk melupakan kemaluanmu?

Percintaan yang kedelapan;
Sesungguhnya bila Dia menghendaki sesuatu, hanya dengan perintah “Jadilah!” maka jadilah kamu. Meski dengan sederhana. Seperti diksi yang langka. Dan aku sia-sia saja memahaminya.

Seperti kabut. DzatNya begitu menggelayut dalam keakuan. Menembus sisi ubudiyah. Mahabbah yang menelan lawwamah. Berkejaran dengan bayangan dunia. Simpul jahiliyah yang menyematkan dengki hati. Menjelma kamu dengan bibir yang merekah. Hakikat yang menggoda. Mengganyang syariat ketekunan. Kesendirian yang cabul. Aku terpekur pada seorang mursyid.

“Menyendiri dari pengaruh duniawi –khalwat- adalah sifat orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri –uzlah- adalah lambang orang yang berwushul kepadaNya. Memisahkan diri dari manusia sangat diperlukan bagi murid pada awal kondisi ruhaninya, dan selanjutnya mengasingkan diri pada akhir kondisi ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita ruhaninya.”

Seseorang lewat di hadapan syaikh yang saleh. Sementara syaikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan dengan pakaian orang tersebut. Orang tersebut bertanya, "Mengapa Anda menarik jubah Anda? Pakaian saya tidak kotor." Sang syaikh menjawab, "Dugaan Anda salah. Saya menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah saya kotor; kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian Anda. Jadi bukan karena saya bermaksud menjaga jubah saya supaya tidak terkotori."

Sesungguhnya, uzlah adalah menjauhi sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya menjauhkan diri lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa lahir pertanyaan, "Siapakah orang arif itu?" Mereka menjawab, "Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama makhluk, jelas namun jauh dari mereka lewat rahasianya."

Membatas dalam pandangan zahir. Aku bertemu kamu Yos. Perempuan mungil dengan alif yang berserak. Mengalir tak henti dalam syahwatku yang menggunung. Tak ada yang berubah dari hujan yang berpagutan. Seperti keinginanku untuk menciummu sekali saja. Dan tak pernah terlepas. Mengulum rububiyah. Mengantar mukasyafahku. Hanya untuk Dia. Melalui kamu.

Aku terbebani dengan identitasku sebagai laki-laki yang esensi. Semakin menutup hijab hijau yang menggerakkan biologis. Man arofa nafsah. Bahkan tak tahu di mana barat. Tempat tujuan yang telah dipagutkan. Siapa Tuhan? Kalau bukan Aku. MencintaiMu harus menjelma Aku. Ya Mutakabbir. Menghanguskan segala aku yang kecil. Mikro kosmos yang berputar-putar. Tepat di jidat. Ya Latif. Mengharukan semua kesombongan. Sekali lagi aku terantuk. padaMu. Selalu. Tarian mabukku untukMu. Hu Alloh. Alloh. Alloh. Alloh. Alloh. Alloh.
Berputar-putar. Seperti Muhammad menari. Melagukan rahasia. Menata semesta.

Ya Wasi’u. Semoga lapang semua resah. Bertahan setia dengan malam. Menggambar alam raya. Dari nol derajat hingga sekian. “Kamu bukan Tuhanku?” Karena engkau hanya ikhlas menggelar dunia. Mencari sesuap pangkat. Ikhtiar pada keringat padahal bohong besar. Ibadahmu tak akan pernah diterima selama kehilangan cinta. Mahabbah. Mabuk Alloh.

holistik hijab

Oktober yang muskil. Menerjemahkan surealisme-nya huruf-huruf. Kohorensi. Aku butuh itu. Untuk membuatmu lebih perempuan. Entitas-entitas yang menegasikan relasi dan probabilitas. Kreativitas tentang sesuatu yang hidup. Dinamis. Nonlinear. Karakteristik yang sentral pada proses evolusimu adalah kreativitas, bukan adaptasi. Hari ini adalah a priori. Melengkapi subyektifitas yang lain. Otak adalah pusat segala macam ingatan, indra, perasaan, emosi, dan daya bergerak. Namun, otak itu sama sekali bukan organ dari intelegensi dan kehendak, karena tidak ada bagian otak yang, apabila diberi stimulus elektrik akan menyebabkan pasien melangsungkan kegiatan berpikir, percaya atau mengambil keputusan. Rasio teoritis dan rasio praksis. Aku harus membangkang. Menuliskanmu dengan holistik. Menolak mekanistik, materialistik, dan reduksionis. Oktober yang kering. Aku mencatatmu pada selembar paradigma. Apakah hakikat hidup sebenarnya. Sehingga pada malam. Aku berperilaku seperti virus. Sebuah perdebatan. Virus : benda mati atau benda hidup. Seperti benda hidup karena ia mereproduksi diri. Seperti benda mati karena ia senyawa kimia yang memperlihatkan struktur-struktur molekul yang tertata dan kompleks. Dikotomis.

rububiyah

berpikir kreatif mengijinkan analogi bebas, sekalipun nampak tidak berhubungan. kesamaannya berada pada makna simbolisnya. maka ada istilah "terinspirasi", yang bekerja di wilayah yang tak tampak.

aku menyebutnya, rububiyah.

Mabuk Alloh

Cinta Sebagai Agama
Jalaluddin Rakhmat

Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, “Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.”

Suatu hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.. Sang gembala menyapa Tuhan, “Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?”

Musa mendekati gembala itu dan bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?” Gembala menjawab, “Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.” Musa as murka mendengar jawaban gembala itu, “Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!”

Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Musa as yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Mahasempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!”

Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi pastilah lebih mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya. Ia berkata kepada Musa, “Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.

Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa as melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah Yang Mahakuasa menegurnya, “Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya.” Musa mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.”

Suara dari langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.” Tuhan kemudian mengajarkan Musa as rahasia cinta.

Setelah Musa as memperoleh pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari Musa as berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya. Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir-hampir Musa kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa as berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.

Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa as berkata, “Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Karena apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.” Sang gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa as.

Nabi Musa as menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa as kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.

Cerita di atas melukiskan kepada kita bahwa ada sekelompok orang yang mengambil cinta sebagai agamanya. Kalau seseorang telah meledakkan kecintaannya kepada Tuhan, dia tidak lagi dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan seluruh kecintaannya kepada Allah swt. Di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna.

Dari kisah ini juga kita belajar bahwa untuk dapat mendekati Allah swt, tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan. Tidak jarang ilmu menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah swt.

Kita akhiri kisah ini dengan sabda Nabi saw, “Innallâha lâ yanzhuru illâ shuwarikum walakinallâha yanzhuru illâ qulûbikum”. Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan tidak memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu.”

Thursday, April 19, 2007

ubudiyahku

mu (seharusnya dengan m besar)

aku mulai cerita dengan menghitung rambut-mu yang rontok,
memikirkan abad dibilang memabukkan,
apalagi segelas kopiku pahit sekali. wah!
gempita lampu-lampu, gempita gugup cahaya senja.

akulah engkau-mu, lelaki yang kau benci,
menampar matahari-mu melagu puisi,
maaf, wajah-mu aku sobek dengan murtad,
meragukan kitab-mu, padahal aku sungguh-sungguh.



mu (seharusnya dengan m besar)

hingga pada suatu malam, aku menolak-mu!
Sebab berserak rumah-mu. Muak aku!
Megah, membiarkan terbuka semua imaji.

Mu! (bagaimana aku menyebutmu)
Aku terantuk sepi, tepat
Di mata

Mu!


mu (seharusnya dengan m besar)

seperti aku sebut nama-mu dalam mabuk,
“kau seperti tuhan!” igauku


mu (seharusnya dengan m besar)

diamput! Aku menggigil mencari-mu,
di tengah bulan, puncak-puncak langit,
: kebingungan!

Diamput! Aku malaria mencari-mu,
Di pojok restoran, tengah-tengah kota,
: kesakitan!

Diamput! Aku mabuk mencarimu,
Di segelas kopi pahit, beberapa batang rokok,
: dan ketemu!

(ha…ha…ha…ha)

mu (seharusnya dengan m besar)

agar tak layu daun-daun itu, siramilah!
Berlaksa raka’at menghabiskan keringatku,

Aku bosan memanggil nama-mu dengan raka’at,
Akulah engkau-mu yang murtad (demikian kau bunuh imanku)

Lautan tauhid!
Aku akan datang!
Menyumpal segala-mu yang tabir,
Sebab aku adalah

Mu!

mu (seharusnya dengan m besar)

Tiba-tiba kau kalungi aku
Dengan senggama sempurna,
: surga

aku tak percaya!

Tak pernah aku temukan kamus untuk kosa itu.

kelopak man arofa nafsah

Barangsiapa mengenal dirinya. Maka mengenal Tuhannya. Barangsiapa mengenal Tuhannya. Maka bodohlah dia. Rumi takjub sendirian. Syams tergelak dengan riuh yang sempurna. Menenggelamkan ganas jeram kemanusiaan Rumi dengan sebotol vodka. Dia tak merasa dia yang punya tubuh. Akal yang rantau di alam Mukasyafah. Merobek hijab sebagai ulama. Siapakah Aku yang menggunakan ayatMu dalam kesombongan? Ijtihad yang ngungun. Polah pikir yang melangsat syahwat. Bahwa iman adalah publisitas yang absurd.